Mimisan, atau dalam istilah medis dikenal sebagai epistaksis adalah kondisi perdarahan yang berasal dari dalam hidung. Meskipun seringkali dianggap sepele dan dapat berhenti dengan sendirinya, epistaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan) yang paling sering ditemui.
Bagi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), pemahaman mendalam mengenai penyebab, klasifikasi, dan penanganan yang tepat menjadi krusial. Penilaian yang keliru tidak hanya menyebabkan penanganan yang tidak efektif, tetapi juga bisa melewatkan diagnosis kondisi sistemik yang lebih serius yang mendasarinya.
Mengenal Dua Wajah Epistaksis: Anterior dan Posterior
Secara anatomis, sumber perdarahan pada epistaksis menentukan klasifikasi dan tingkat kegawatannya. Memahami perbedaan ini adalah langkah pertama dalam menentukan intervensi yang paling tepat.
1. Epistaksis Anterior
Jenis ini merupakan yang paling umum, mencakup lebih dari 90% kasus epistaksis. Sumber perdarahannya berasal dari bagian depan septum hidung, tepatnya dari Pleksus Kiesselbach, yaitu area anastomosis beberapa arteri. Perdarahan anterior biasanya tidak terlalu hebat, bersifat unilateral, dan sering kali dapat dikontrol dengan penekanan hidung sederhana.
2. Epistaksis Posterior
Meskipun hanya menyumbang kurang dari 10% kasus, epistaksis posterior cenderung lebih serius dan memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Sumber perdarahan terletak di bagian belakang rongga hidung, sering kali berasal dari Pleksus Woodruff yang dialiri oleh arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih masif, sulit ditentukan lokasinya, dan darah dapat mengalir ke kedua lubang hidung serta tenggorokan, yang berisiko menyebabkan mual, muntah, atau bahkan aspirasi.
Faktor Pemicu: Dari Udara Kering hingga Kelainan Sistemik
Penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi dua kategori utama: faktor lokal dan faktor sistemik. Identifikasi faktor pemicu sangat penting karena tata laksana tidak hanya berfokus pada penghentian perdarahan, tetapi juga pada penanganan akar masalahnya.
Penyebab Lokal:
- Trauma: Mengorek hidung, benturan ringan, atau memasukkan benda asing ke hidung adalah penyebab paling umum, terutama pada anak-anak.
- Faktor Lingkungan: Udara yang kering dan dingin dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi kering, retak, dan rentan berdarah.
- Iritasi dan Inflamasi: Infeksi saluran napas atas (ISPA), rinosinusitis kronis, dan rinitis alergi menyebabkan peradangan pada mukosa hidung.
- Kelainan Struktural: Deviasi septum atau adanya perforasi pada septum dapat mengganggu aliran udara dan menyebabkan pengeringan mukosa di area tertentu.
Penyebab Sistemik:
- Hipertensi: Meski masih menjadi perdebatan, hipertensi sering dikaitkan dengan epistaksis posterior pada populasi lansia dan dapat memperpanjang durasi perdarahan.
- Kelainan Koagulasi: Kondisi seperti hemofilia, penyakit von Willebrand, atau trombositopenia dapat bermanifestasi sebagai epistaksis.
- Penggunaan Obat-obatan: Antikoagulan (seperti warfarin) dan antiplatelet (seperti aspirin atau clopidogrel) secara signifikan meningkatkan risiko perdarahan.
- Tumor: Baik tumor jinak maupun ganas di area rongga hidung atau sinus paranasal dapat menyebabkan epistaksis berulang.
Diagnosis dan Tata Laksana Epistaksis Adalah Kunci di Fasyankes
Pendekatan yang sistematis diperlukan saat seorang pasien datang dengan keluhan epistaksis.
- Evaluasi Awal: Prioritas utama adalah menilai stabilitas jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC), terutama pada kasus perdarahan masif.
- Anamnesis: Riwayat medis yang detail sangat penting. Tanyakan mengenai frekuensi, durasi, perkiraan jumlah darah, riwayat trauma, penggunaan obat-obatan, serta riwayat penyakit sistemik lainnya.
- Pemeriksaan Fisik: Gunakan sumber cahaya yang baik dan spekulum hidung untuk mencoba mengidentifikasi lokasi perdarahan. Pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya cukup untuk melihat sumber perdarahan anterior.
- Penanganan:
- Tindakan Konservatif: Instruksikan pasien untuk duduk tegak dan sedikit membungkuk ke depan sambil menekan cuping hidung selama 10-15 menit. Posisi ini mencegah darah tertelan dan memungkinkan pembentukan bekuan darah.
- Kauterisasi: Jika sumber perdarahan terlihat, kauterisasi menggunakan silver nitrate (kimia) atau elektrokauter (listrik) bisa menjadi langkah yang sangat efektif.
- Pemasangan Tampon: Bila perdarahan tidak berhenti, pemasangan tampon hidung anterior menjadi pilihan berikutnya. Untuk epistaksis posterior atau kasus yang lebih berat, mungkin diperlukan tampon posterior atau kateter balon.
Manajemen pasien yang komprehensif, mulai dari anamnesis hingga pencatatan tindakan, menuntut dokumentasi yang akurat. Proses ini menjadi lebih rumit ketika data riwayat pasien tersebar dan tidak terpusat. Pengelolaan data yang efisien adalah fondasi praktik kedokteran modern yang berkualitas. Tingkatkan efisiensi dan kualitas layanan fasyankes Anda dengan beralih ke solusi digital. Mulai gunakan Rekam Medis Elektronik (RME) dari Rheina untuk pengelolaan data yang terintegrasi, andal, dan mudah diakses.