Dermatitis Perioral: Bukan Sekadar Jerawat, Kenali Gejala dan Penanganannya

Munculnya bintik-bintik kemerahan meradang di sekitar area mulut sering kali disalahartikan sebagai jerawat biasa atau iritasi ringan. Namun, jika ruam tersebut terasa gatal, perih, dan tidak kunjung membaik dengan penanganan jerawat pada umumnya, bisa jadi Anda sedang berhadapan dengan dermatitis perioral.

Kondisi kulit ini, meskipun tidak berbahaya, dapat sangat mengganggu penampilan dan menurunkan kepercayaan diri, sehingga memerlukan diagnosis serta penanganan yang tepat dari tenaga profesional kesehatan. Memahaminya secara mendalam adalah langkah pertama untuk mengatasinya secara tuntas.

Apa Sebenarnya Dermatitis Perioral?

Dermatitis perioral adalah sebuah kondisi peradangan kulit yang ditandai dengan munculnya sekelompok benjolan kecil (papula) atau benjolan berisi nanah (pustula) dan kemerahan (eritema) di sekitar mulut.

Secara harfiah, “peri” berarti sekitar dan “oral” berarti mulut. Salah satu ciri khasnya adalah adanya area kulit yang tampak normal tepat di sekitar bibir, seolah-olah membentuk sebuah batasan jelas antara bibir dan area ruam.

Meskipun paling sering muncul di sekitar mulut, ruam serupa juga bisa timbul di area lipatan hidung (nasolabial) dan sekitar mata, yang kemudian disebut sebagai dermatitis periorifisial (sekitar lubang wajah). Kondisi ini dapat dialami oleh siapa saja, namun lebih umum terjadi pada wanita usia 16 hingga 45 tahun.

Mengenali Gejala Khas Dermatitis Perioral

Membedakan dermatitis perioral dari masalah kulit lain seperti jerawat, rosacea, atau dermatitis kontak alergi sangatlah penting untuk keberhasilan terapi. Berikut adalah beberapa gejala khas yang perlu diperhatikan oleh para klinisi dan pasien:

  • Ruam Berupa Benjolan Kecil: Munculnya papula kemerahan atau pustula berukuran 1-2 mm.
  • Lokasi Spesifik: Terkonsentrasi di sekitar mulut, lipatan hidung, dan terkadang dagu.
  • Batas Jelas di Sekitar Bibir: Terdapat area kulit yang tidak terdampak (pucat) di sekeliling batas bibir (vermilion border).
  • Sensasi Tidak Nyaman: Kulit yang terdampak bisa terasa kering, bersisik, gatal, atau sensasi terbakar ringan.
  • Tidak Ada Komedo: Berbeda dengan jerawat, pada dermatitis perioral umumnya tidak ditemukan adanya komedo (blackhead atau whitehead).

Pemicu dan Penyebab Dermatitis Perioral yang Perlu Diwaspadai

Penyebab pasti dari dermatitis perioral masih belum diketahui secara penuh, namun para ahli mengidentifikasi beberapa faktor pemicu yang sangat kuat kaitannya dengan kemunculan kondisi ini. Pemicu yang paling umum dan signifikan adalah penggunaan krim atau salep kortikosteroid topikal (steroid) di wajah untuk mengatasi masalah kulit lain.

Ironisnya, krim steroid yang awalnya meredakan peradangan justru dapat menyebabkan ruam kambuh lebih parah setelah pemakaian dihentikan. Selain itu, beberapa faktor lain yang turut berkontribusi meliputi:

  • Steroid Inhalasi: Penggunaan semprotan hidung atau inhaler yang mengandung kortikosteroid.
  • Krim Wajah yang Berat: Penggunaan pelembap atau kosmetik yang bersifat oklusif (menyumbat pori).
  • Pasta Gigi Berfluoride: Beberapa kasus menunjukkan kaitan dengan penggunaan pasta gigi yang mengandung fluoride.
  • Perubahan Hormonal: Fluktuasi hormon, terutama yang berkaitan dengan siklus menstruasi.
  • Paparan Sinar UV: Sinar matahari dapat memperburuk kondisi pada beberapa individu.

Baca juga: Demam Tifoid Adalah Ancaman Serius, Kenali Gejalanya Sejak Dini

Diagnosis dan Pilihan Terapi yang Efektif

Diagnosis dermatitis perioral umumnya ditegakkan secara klinis berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik pada kulit. Jarang sekali diperlukan biopsi kulit, kecuali jika diagnosisnya tidak jelas. Penanganan kondisi ini memerlukan kesabaran, karena hasilnya tidak instan dan ruam bisa sementara memburuk sebelum akhirnya membaik.

Pendekatan terapi utama meliputi:

  1. Hentikan Pemicu (Zero Therapy)
    Langkah pertama dan terpenting adalah menghentikan penggunaan semua krim steroid topikal, bahkan yang berkekuatan rendah sekalipun. Pasien juga dianjurkan untuk sementara waktu menghentikan penggunaan kosmetik dan pelembap yang berat.
  2. Terapi Topikal (Oles)
    Setelah menghentikan pemicu, dokter mungkin akan meresepkan obat topikal non-steroid untuk mengatasi peradangan, seperti metronidazole dalam bentuk krim atau gel, asam azelaic, atau pimecrolimus.
  3. Terapi Oral (Minum)
    Untuk kasus yang lebih luas atau resisten terhadap terapi topikal, antibiotik oral dari golongan tetrasiklin (seperti doxycycline atau minocycline) sering kali menjadi pilihan. Antibiotik ini bekerja bukan untuk membunuh bakteri, melainkan karena efek anti-inflamasinya. Durasi pengobatan biasanya berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan, tergantung pada tingkat keparahan.

Manajemen pasien dermatitis perioral memerlukan pencatatan riwayat penggunaan obat dan respons terapi yang cermat. Proses ini menyoroti betapa pentingnya dokumentasi medis yang akurat dan mudah diakses bagi para profesional kesehatan untuk memantau perkembangan pasien dan menyesuaikan rencana perawatan.

Di sinilah peran teknologi manajemen fasyankes menjadi krusial. Dengan Rekam Medis Elektronik (RME) dari Rheina, para dokter dan tenaga kesehatan dapat dengan mudah melacak Data Historis Rekam Medis pasien, mencatat setiap resep obat yang diberikan melalui fitur Peresepan Obat, dan memantau efektivitasnya dari waktu ke waktu. Hal ini tidak hanya meminimalisir risiko kesalahan medis, tetapi juga meningkatkan kualitas layanan secara keseluruhan.

Tingkatkan efisiensi dan kualitas layanan di fasilitas kesehatan Anda. Mulai gunakan RME Rheina sekarang dan rasakan kemudahan dalam mengelola data pasien secara digital dan terintegrasi. Kunjungi rheina.id untuk informasi lebih lanjut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *